Menulis untuk Mendengar Diri Sendiri

Artikel ini ditulis oleh: Didin Kamayana Tulus

Menulis
Ilustrasi: Seorang pemuda sedang menulis di kamarnya yang sunyi - (Sumber: Arie)

ASEP NEWSRubrik OPINI, Kamis (13/11/2025) – Artikel berjudul “Menulis untuk Mendengar Diri Sendiri” ini adalah sebuah esai karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Di tengah dunia yang semakin bising, menulis menjadi salah satu cara paling sunyi namun paling jujur untuk berbicara. Ia bukan sekadar keterampilan teknis yang bisa dipelajari lewat teori atau pelatihan. Menulis adalah praktik keberanian. Keberanian untuk jujur, untuk membuka luka, untuk merangkai pikiran yang tercecer, dan untuk menyampaikan isi hati yang sering kali tak sempat terucap.

Banyak orang merasa tidak cukup pintar untuk menulis. Mereka takut salah, takut tidak menarik, atau takut tidak dibaca, adahal menulis bukan soal IQ atau gelar akademik. Menulis adalah soal kepekaan. Kepekaan terhadap diri sendiri, terhadap dunia, dan terhadap perasaan yang kadang sulit dijelaskan. Menulis adalah ruang tempat kita bisa menjadi utuh, meski belum tentu sempurna.

Menulis
Ilustrasi: Seorang gadis sedang menulis di kamarnya – (Sumber: Arie)

Menulis juga bukan soal validasi. Kita tidak harus menulis untuk dibaca, disukai, atau dipuji. Menulis bisa menjadi ruang pribadi yang aman, tempat kita berdialog dengan diri sendiri. Dalam tulisan, kita bisa menyusun ulang pengalaman, mengurai luka, dan menemukan makna dari hal-hal yang sebelumnya hanya terasa sebagai beban. Menulis adalah proses menyembuhkan, bukan hanya mengungkapkan.

Ada kalanya kita merasa tidak didengar. Kata-kata kita terhenti di tenggorokan, atau tenggelam dalam keramaian. Di saat seperti itu, menulis menjadi alat untuk menyuarakan yang tak terdengar. Ia menjadi medium untuk mengatakan hal-hal yang penting, meski tidak populer. Menulis jujur di tengah dunia yang penuh pencitraan adalah bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap standar palsu, terhadap tuntutan sosial, dan terhadap kebiasaan menyembunyikan diri demi kenyamanan orang lain.

Menulis juga memberi kita ruang untuk memahami dunia. Saat kita menuliskan apa yang kita lihat, rasakan, dan pikirkan, kita sedang belajar menyusun realitas. Kita sedang mencoba memahami mengapa sesuatu terjadi, bagaimana kita meresponsnya, dan apa yang bisa kita pelajari darinya. Dalam proses itu, kita tidak hanya menjadi penulis, tapi juga menjadi pembaca yang lebih peka terhadap kehidupan.

Yang menarik, menulis tidak selalu harus menghasilkan karya besar. Satu paragraf jujur bisa lebih bermakna daripada satu buku yang penuh kepalsuan. Kita tidak perlu menunggu momen sempurna atau inspirasi agung. Menulis bisa dimulai dari hal-hal kecil: satu kalimat tentang hari ini, satu pertanyaan tentang masa lalu, atau satu pengakuan tentang rasa takut yang selama ini kita sembunyikan. Dari sana, kata-kata akan tumbuh, perlahan tapi pasti.

Menulis juga mengajarkan kita untuk tidak takut salah. Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, menulis memberi ruang untuk keliru, untuk mencoba, dan untuk belajar. Setiap tulisan adalah jejak proses berpikir. Ia tidak harus benar, tapi harus jujur. Dalam kejujuran itulah, tulisan menemukan kekuatannya.

Bagi banyak orang, menulis adalah satu-satunya cara untuk tetap waras. Ketika dunia terasa terlalu cepat, terlalu keras, atau terlalu asing, menulis menjadi tempat pulang ─ tempat di mana kita bisa menjadi diri sendiri tanpa topeng, tanpa tuntutan, dan tanpa penilaian. Menulis adalah cara untuk mendengar suara hati yang sering kita abaikan.

Menulis juga bisa menjadi bentuk cinta. Cinta pada diri sendiri, pada orang lain, dan pada kehidupan itu sendiri. Dalam tulisan, kita bisa menyampaikan harapan, memeluk kenangan, dan merawat luka. Kita bisa berbagi, bukan karena ingin dipuji, tapi karena ingin terhubung. Kata-kata yang jujur selalu menemukan jalannya menuju hati yang siap mendengarkan.

Akhirnya, menulis bukan tentang menjadi penulis hebat. Menulis adalah tentang menjadi manusia yang lebih sadar. Sadar akan dirinya, akan dunia, dan akan perasaan yang selama ini terpendam. Menulis adalah cara untuk hidup lebih utuh, lebih jujur, dan lebih merdeka.

Jadi, jika kamu merasa tidak didengar, tidak cukup pintar, atau tidak tahu harus mulai dari mana—menulislah. Bukan untuk orang lain, tapi untuk dirimu sendiri. Karena dalam setiap kata yang kamu tulis, ada keberanian yang sedang tumbuh. Dan itu, mungkin, adalah bentuk paling murni dari kebebasan. (Didin Tulus).

***

Judul: Menulis untuk Mendengar Diri Sendiri
Penulis: Didin Kamayana Tulus
Editor: Asep (HC) Arie Barajati

Sekilas Info Penulis

Didin Tulus lahir di Bandung pada 14 Maret 1977. Ia menghabiskan masa kecilnya di Pangandaran, tempat ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA YAS Bandung.

Didin Tulus
Didin Tulus, Penulis dan Pegiat Literasi di Kota Cimahi – (Sumber: Koleksi pribadi)

Setelah lulus SMA, Didin Tulus melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Fakultas Hukum. Selain itu, ia juga menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, jurusan Seni Rupa.

Aktifitas dan Karir

Didin Tulus memiliki pengalaman yang luas di bidang penerbitan dan kesenian. Ia pernah menjadi marketing pameran di berbagai penerbit dan mengikuti pameran dari kota ke kota selama berbulan-bulan. Saat ini, ia bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan independen.

Pengalaman Internasional

Didin Tulus beberapa kali diundang ke Kuala Lumpur untuk urusan penerbitan, pembacaan sastra, dan puisi. Pengalaman ini memperluas wawasannya dan membuka peluang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan komunitas sastra internasional.

Kegiatan Saat Ini

Saat ini, Didin Tulus tinggal di kota Cimahi dan aktif dalam membangun literasi di kotanya. Ia berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian dan sastra.

Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang luas, Didin Tulus telah membuktikan dirinya sebagai seorang yang berdedikasi dan berprestasi di bidang kesenian dan penerbitan.

***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *