ASEP NEWS, Kolom OPINI, Jumat (07/03/2025) – Artikel berjudul “Prof. Dr. Een Herdiani, S.Sen., M.Hum.: Tari Sunda itu Luhung Sudah Ada Sejak Masa Pra Sejarah dan Zaman Pajajaran” ini merupakan karya Asep GP, mantan wartawan senior Harian Umum Pikiran-Rakyat.
Menarik disimak wangkongan (obrolan) penulis dengan Guru Besar Tari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Prof. Dr. Een Herdiani, S.Sen., M.Hum., tentang Jagat Tari Sunda.
Ternyata menurut sejarahnya, tarian di Jawa Barat (Sunda) itu sudah ada pada masa pra sejarah. Ketika masyarakat kita masih menganut animisme, dinamisme dan totemisme, tari itu adalah bagian dari upacara syukuran dan permohonan kepada roh nenek moyang untuk meminta keselamatan, kesejahteraan, kesuburan, tolak bala penyakit, dan sebagainya yang dipimpin oleh tokoh spiritual perempuan Shaman/Dukun.
Peran perempuan Shaman ini sebagai pemimpin ritual/upacara dianggap mempunyai andil yang sangat penting, sangat esensial dalam sebuah kehidupan. Kemudian dalam perjalannya gerak yang dimunculkannya itu menurut cerita nenek moyang, ada gerakan melambai meniru gerakan pohon diterpa angin, memohon, berdoa berupa gerakan tengadah dan tangan ke atas, serta teriakan dan tepukan terhadap tubuhnya yang sekaligus merupakan embrio dari awal adanya musik.

“Terkadang Shaman menari hingga trance (perhatikan penari Jentreng-Tarawangsa Rancakalong) dan itu pertanda ada roh leluhur yang merasukinya. Kemudian roh tersebut dipercaya akan memberi kesejahteraan dan keselamatan, kesuburan, tolak bala, dan sebagainya,” ungkap Een.
Shaman atau Dukun perempuan inilah yang menjadi embrio Ronggeng yang pada saat itu kedudukannya sangat tinggi dan dihormati sebagai pemimpin upacara yang bisa menghubungi roh nenek moyang. Hal ini terus berlangsung dengan datangnya pengaruh Hindu-Buddha dari India di kita.
“Nyambung ada akulturasi karena Hindu-Buddha pun sering menyertakan tarian dalam upacara pemujaan kepada para dewa atau entitas spiritual lainnya,” jelas Een.
Kepercayaan kepada animisme dan dinamisme ini sampai sekarang pun masih ada jejaknya dan dapat dilihat dari socio fact di mana mereka melakukan upacara-upacara seperti zaman dahulu, apalagi sesudah kita mengenal pertanian, dikaitkan dengan Dewi Sri/Dewi Padi, misalnya upacara Mapag Sri, Panen, Tari Pwah Haci, Ngalaksa, Syukuran Panen, Seren Taun, juga ada tarian Bangbarongan untuk tolak bala Jurig Kuris (wabah cacar) dan penyakit endemik lainnya di Kampung Adat, dan sebagainya.
“Nah itu fakta-fakta sosial dimana tarian disitu memang asal-usulnya dari masa pra sejarah,” papar Prof.Een ketika ditemui penulis di Gedung Pascasarjana ISBI, Jln. Buah Batu No.212, Kota Bandung, beberapa hari lalu.
Pada beberapa daerah masih ada kepercayaan bahwa penari itu memiliki kekuatan. Misalnya pada upacara Mapag Sri di Cirebon, Upacara Munjung/Ngunjung Buyut (biasanya di makam), tradisi bentuk penghormatan kepada leluhur yang biasa dilaksanakan pada September, (Syuro atau Mulud) ini biasanya dimeriahkan dengan berbagai kesenian khas daerah setempat.
“Ketika mereka melakukan tarian ada roh yang masuk dan ketika ada yang sakit orang sakitnya dibawa ke situ dan si Penari menghentikan tariannya, kemudian mengambil air dan setelah diberi jampi-jampi lalu diberikan ke yang sakit. Penari itu diyakini sebagai orang yang sakti,“ jelas Een.
Nah pada zaman-Hindu Buddha inilah banyak data-data dari sumber tertulis yang mengatakan di Tatar Sunda (Jawa Barat) ada tarian di beberapa tempat. Hal itu tertulis naskah-naskah kuna Siksa Kandang Karesian, Carita Parahyangan, Kidung Sunda, juga Pantun Bogor. Di antara sumber tertulis ini menyebutkan bahwa pada masa Pajajaran ada sajian-sajian Rongeng di alun-alun dan secara eksplisit di Naskah tersebut disebutkan adanya Ronggeng.
Pada masa Hindu-Budhha ini pertunjukan Ronggeng bukan hanya hiburan saja secara utuh, tetapi jadi bagian dari upacara Kematian. Jadi dalam upacara kematian itu ada hiburan, seperti di batak, Toraja, Kalimantan, dan sebagainya. Termasuk di Jawa Barat, dalam peristiwa Perang Bubat ada cerita yang beredar divmana Raja Majapahit Hayam Wuruk mengadakan upacara kematian (Titiwanira) Diah Pitaloka (Putri dari Kerajaan Galuh/Sunda) yang gugur di Bubat dan di upacara itu juga di antaranya ada Ronggeng dan Wayang yang dimainkan oleh peserta upacara tersebut.
Setelah zaman Islam, ada kesenian-kesenian datang dari Mataram Islam, seperti Wayang Topeng, Tari Topeng, dan sebagainya karena waktu itu menyebarkan Islam melalui kesenian, topeng, gamelan dan wayang, termasuk topeng ke daerah Cirebon yang kemudian dipelihara di kerajaan, Keraton Kacirebonan, Keraton Kasepuhan.
Citra Ronggeng di Zaman Kolonial Suram, Dijadikan Perempuan Hiburan
Pengaruh kesenian Mataram ke Cirebon memang besar karena dulu seniman-seniman Cirebon dibawa oleh Raja Cirebon ke Mataram untuk berlatih kesenian. Nah dari Keraton Cirebon ini nanti muncul Wayang Wong, Tayuban, Wayang Topeng. Namun, ketika Keraton Cirebon dikuasai Kolonial, anggaran untuk kesenian pun lenyap maka seniman- seniman keraton ini pada kabur keluar dari tembok Keraton mengadakan Bebarang (ngamen) ke berbagai daerah hingga ke Banten.
Dari sini munculah kesenian-kesenian dan tarian yang berbeda di tiap daerah yang diadopsi dari tarian-tarian atau kesenian yang dibawa para seniman keraton tersebut. Topeng, Tayuban, Wayang Wong Priangan yang nantinya melahirkan Tari wayang, Tayub melahirkan Tari Keurseus, terakhir juga ada karya-karya Cece Somantri lanjutan dari tarian yang hidupnya di kaum menak.
Bersamaan dengan itu ronggeng pun hidup di kalangan rakyat dan nanti pada suatu waktu pada masa kolonial, ronggeng-ronggeng yang ada dikalangaan rakyat ini diambil oleh penari Tayuban dari kalangan menak dan naik derajatnya karena pada masa kolonial ini ada perubahan citra ronggeng, dijadikan perempuan hiburan.
“Jadi, citra ronggeng pada masa Kolonial ituburuk padahal tidak semuanya begitu. Jadi perubahan ronggeng dari fungsi ritual ke hiburan itu ada kentara di masa Kolonial. Ini sangat menindas, perempuan pribumi dianggap rendahan,” ungkap Een.
Namun, Een pun tidak menampik kalau pada masa kolonial pun ada plus – minusnya. Memang seni rakyat (ronggeng) tercoreng noda hitam, ada minusnya, hingga para orang tua tidak mengijinkan anak perempuannya belajar tari karena dianggap jelek sekali citranya.
Di sisi lain, orang-orang Belanda dan Barat pun saat itu membawa kemajuan untuk seni pertunjukan. Mereka membuat gedung-gedung seni petunjukan, membawa seni Barat, baik musik, tarian dansa, dibawa ke sini. Kalau di Bandung ada Gedung Concordia yang dulu dipakai untuk pertunjukan teater.
“Ketika pemerintah kita sudah dikuasai Belanda untuk menyamarkan penjajahannya bangsa Belanda memberi keleluasaan kepada kita untuk terjun di bidang budaya sehingga latihan-latihan dan pertunjukan kesenian di tiap pendopo kabupaten menjamur saat itu,“ kata Een.
Saat masa kolonial, di kalangan rakyat pun muncul berbagai macam seni ronggeng yang namanya berbeda di setiap daerah, ada Doger (Subang) itu hanya untuk hiburan bagi kuli-kuli kontrak perkebunan, juga ada Dombret untuk hiburan di pesisiran (nelayan), Ronggeng Kijing, Ronggeng Ketuk (Indramayu), Ronggeng Gunung dan Ronggeng Kaler (Ciamis) untuk disegala tempat, juga Ketuk Tilu yang juga muncul pada tahun 18-an.
“Entah siapa yang menamakannya demikianmungkin karena si Ronggeng itu ngamen ke sana-ke mari dengan diiringi alat musik berupa ketuk, goong, kendang, dan rebab maka disebut Ketuk Tilu,” jelas Een.
Setelah Een berkeliling ke mana-mana, ia menemukan munculnya istilah ketuk tilu di Bandung.
“Saya nyari ke mana-mana, eh itu ternyata istilah itu sebutan ketuk tilu itu ada pada saat Masigit (Mesjid Agung) Bandung dibangun oleh bupati Wiranatakusumah II (Dalem Kaum) tahun 1812. Beliau menulis, pada saat dibangun masjid malamnya di dekat masjid itu ada pintonan Ketuk Tilu,“ kata Een yang teringat masa lalunya saat ia mengadakan penelitian.
Yang menarik pada masa Tjetje Somantri (Tokoh Pembahaaru Tari Sunda), perempuan penari Sunda terangkat lagi harkat derajatnya. Jadi kesenian yang dari jalur menak perkembangannya setelah Wayang Wong, Wayang Orang, dan Topeng. Bahkan, Tari Topeng sampai melahirkan Topeng Priangan itu dibuat oleh Tjetje Somantri.
Ada cerita, ketika Presiden Soekarno (saat itu) itu datang ke Jawa Barat melihat tarian, tetapi beliau kecewa kenapa tidak ada tarian perempuan, padahal orang Sunda itu perempuannya cantik-cantik. Peristiwa itu menjadi salahsatu motivasi Pa Tjetje membuat tarian untuk perempuan. Oleh karena itu muncul Tarian Dewi, Kukupu, Sulintang, Merak, dan pada 1955 tarian itu dipentaskan untuk menyambut tamu-tamu peserta Konferensi Asia-Afrika.
Dengan adanya karya Tjetje Somantri citra penari perempuan yang tadinya buruk dimasa Kolonial, jadi terangkat lagi, karena karya-karyanya mengangkat perempuan menjadi penari-penari hebat, jadi penari istana dan dihargai. bahkan kalau ada lawatan presiden keluar negeri tarian karya Pa Tjetje harus selalu ada, seperti Tari Kukupu, Merak, Sulintang, dan Topeng Priangan yang sumbernya dari Topeng Cirebon.
Dengan demikian, para orang tua di kalangan Menak pun memperbolehkan kembali anak-anaknya untuk kembali mempelajari tari, karena pada saat itu penari-penari bentukan Tjetje Somantri banyak yang menjadi penari istana dan cantik-cantik. Bahkan, banyak kalangan masyarakat menganggap tarian karya Tjetje adalah Tarian Klasik, padahal secara pengertian tarian klasik hidup di kalangan istana.
Namun, mungkin karena sumbernya banyak diambil dari tarian di kalangan menak maka orang menganggapnya Tarian Klasik. Oleh karena itu Raden Tjetje Somantri ini dianggap sebagai Tokoh Pembaharu Tari Sunda walau sebetulnya sebelum Tjetje Somantri ada tokoh pembaharu Tari Sunda pertama yaitu Raden Sambas Wirakoesoemah yang meciptakan Tari Keurseus dari perkembangan Tayuban, supaya bisa dipelajari di sekolah-sekolah. Raden Sambas membuat Tari Keurseus, tari yang disusun dan berpatokan. Oleh karena itu tarian laki-laki saat itu sangat digemari, itu sekitar 1920-an.
Setelah itu baru setelah kemerdekaan, Tjetje Somantri muncul, walau sebetulnya embrio beliau mencipta tari itu sudah di tahun 40-an, hanya lebih populer setelah merdeka dan banyak mencipta tarian.
Lalu akhirnya muncul kreator terakhir di jagat tari Sunda, Gugum Gumbira yang menciptakan Jaipongan. Beliau mengambil sumber dari ketuk tilu dan seni rakyat Jawa Barat lainnya seperti silat, tapi beliau juga belajar tari menak maka munculah Jaipongan.
Gugum membuat Jaipongan itu untuk pertunjukan. Jadi, ia betul-betul memisahkan Tari Rakyat Pergaulaan yang polanya berpasangan dan dianggap ada retorika kurang bagus, jadi seni pertunjukan rakyat yang punya kredibilitas bernilai tinggi.
“Dan kalau saya lihat, kenapa karya Gugum ini menyebar dan disukai masyarakat karena dianggap inilah tarian kita yang diangkat dari tarian rakyat, budaya rakyat. Gugum tahun 74 mulai mengembangkan Ketuk Tilu Perkembangan, dari sana membuat tarian baru dengan nama yang sama, tapi atas saran para budayawan diganti jadi ‘Jaipongan’, istilah yang diambil dari Karawang,“ terang Een.
Sekarang perkembangan tari sudah cukup pesat, tetapi di Sunda baru ada tiga pelopor. Kemudin muncul sekolah seni dan perguruan tinggi seni di tahun 60-an. Jadi pemerintah sangat care dengan kesenian maka munculah sekolah-sekolah seni resmi yang dimulai di Yogya kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.
“ISBI Bandung juga ketika masih bernama ASTI sebetulnya pentolan dari Yogya (Kelas Jauh ASTI Yogyakarta). Mulai dari Kokar (untuk SLTA), lalu KORI (mahasiswa) Konservatori Tari (1968), lalu jadi ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia-1971) dan STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia-1995), serta sekarang menjadi ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia-2014) Bandung,” tambah Een.
Hingga sekarang, kata Een, ada tujuh perguruan tinggi negeri di Indonesia dan ada swasta yang bergabung di Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni yaitu Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya dan IKJ (Institut Kesenian Jakarta) .
“Dengan adanya UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan itu satu upaya pemerintah untuk mewadahi kebudayaan. Dengan adanya ini kami berharap kebudayaan kita akan maju, apalagi ada Pak Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat yang punya konsentrasi untuk mengangkat kebudayaan,” ujar Een.
Menurut Een, memang dulu ada wacana pembangunan berdasarkan kebudayaan, pendidikan berdasarkan kebudayaan, tetapi realisasinya tidak ada.
“Nah sekarang melihat dari program-program gubernur yang baru semoga sekarang mah betul-betul bisa terwujud. Khususnya di Jabar dulu lah, misalnya bagaimana pembangunan berbasis kebudayaan itu melarang mengeluarkan ijin membangun perumahaan di perbukitan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya kita (Sunda) yang terkenal sangat menjaga lingkungan hidup,” ungkap Een.
Een punya harapan besar dengan adanya UU Pemajuan Kebudayaan dan Gubernur Jawa Barat yang konsen memajukan kebudayaan Sunda.
“Saya harap kebudayaan menjadi salah satu ikon Indonesia, menjadi unggulan Indonesia. Indonesia menjadi Negara Adhi Budaya, termaju dalam bidang kebudayaan, “ pungkas Een.
***
Prof. Een Herdiani lahir di Ciamis Jawa Barat, 6 Juli 1967. Riwayat pendidikan tingginya dimulai di Jurusan Seni Tari ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) Bandung, lulus 1989, lalu meraih Sarjana Seni di Prodi Seni Tari STSI Surakarta (1992), dan lulus Program Pascasarjana S2 Fakultas Ilmu Humaniora Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM Yogyakarta (2000), serta meraih gelar Doktor (S3) di Program Pascasarjana Fakultas Sastra (FIB) Prodi Ilmu Sejarah Unpad Bandung (2012).
Een juga pernah menjabat Ketua STSI Bandung (2013-2014) dan Rektor ISBI Bandung (2014-2022). Sekarang ia masih mengajar di Pascasarjana ISBI Bandung.
***
Judul: Prof. Dr. Een Herdiani, S.Sen., M.Hum.: Tari Sunda itu Luhung Sudah Ada Sejak Masa Pra Sejarah dan Zaman Pajajaran
Penulis: Asep GP
Editor: Jumari Haryadi