ASEP NEWS – Rubrik SASTRA/ESAI, Senin (26/05/2025) – Artikel berjudul “Pena di Tengah Absurditas: Menjaga Martabat Diri” ini adalah sebuah esai karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Seringkali, di tengah keriuhan dunia yang seolah tak terhenti, saya menemukan diri saya terperosok dalam sebuah kesunyian. Bukan kesunyian yang hampa, melainkan kesunyian yang penuh dengan pertanyaan, keresahan, dan pengamatan. Di sanalah, dalam ruang hening itu, jari-jemari saya mulai bergerak, menuangkan pikiran-pikiran tentang hal-hal yang seringkali terasa begitu tidak masuk akal—tentang absurditas hidup.

Namun, juga tentang esensi terdalam dari keberadaan manusia: martabat. Saya menulis, bukan untuk mengubah dunia secara instan, tetapi dengan satu tujuan yang lebih personal dan mendalam: untuk menjaga agar dirinya tidak hancur.
Mengapa menulis tentang absurditas? Karena ia ada di mana-mana. Kita melihatnya dalam kontradiksi antara janji dan kenyataan, antara harapan dan kekecewaan, antara apa yang seharusnya dan apa yang terjadi.
Dunia ini, dengan segala kompleksitas dan kekacauannya, seringkali terasa seperti lelucon besar yang tidak lucu. Norma-norma yang kita pegang teguh kadang runtuh begitu saja, kebenaran menjadi relatif, dan makna hidup terasa kabur. Jika kita tidak menyadari absurditas ini, kita bisa terjebak dalam ilusi, atau bahkan lebih parah, kehilangan arah.
Namun, di balik pengakuan akan absurditas itu, ada hal lain yang jauh lebih penting untuk saya tuliskan: martabat. Martabat adalah jangkar kita di tengah badai kebingungan. Ia adalah pengingat bahwa, meskipun dunia mungkin tidak selalu masuk akal, kita memiliki nilai intrinsik yang tak tergoyahkan.
Martabat adalah kesadaran bahwa kita layak dihormati bahwa kita memiliki hak untuk berpikir, merasa, dan bertindak sesuai dengan hati nurani, terlepas dari tekanan eksternal.
Menulis tentang kedua konsep ini adalah semacam terapi bagi saya. Ini adalah cara untuk mengolah dan memahami kekacauan, bukan untuk melarikan diri darinya. Ketika saya menuangkan absurditas ke atas kertas, saya memberinya bentuk, saya mencarikan polanya. Bahkan, jika pola itu sendiri adalah ketidakberaturan.
Di tengah proses itu, saya menemukan kekuatan dalam diri sendiri untuk menegaskan kembali martabat saya. Saya menegaskan bahwa saya, sebagai individu, memiliki kemampuan untuk memaknai hidup, meskipun makna itu tidak selalu jelas dari luar.
Saya tidak punya ilusi bahwa tulisan-tulisan ini akan segera memicu revolusi besar atau mengubah cara pandang miliaran orang. Itu bukan tujuan utamanya. Tujuan saya jauh lebih dekat, lebih intim: menjaga agar diri ini tidak hancur. Menjaga agar api kecil dalam diri yang disebut harapan, integritas, dan keberanian untuk bertanya tidak padam.
Menulis adalah cara saya untuk tetap waras, untuk tetap terhubung dengan inti kemanusiaan saya, dan untuk terus mencari cahaya di tengah kegelapan yang seringkali menyesakkan.
Pada akhirnya, tulisan-tulisan ini adalah monumen pribadi bagi perlawanan batin. Sebuah bukti bahwa, meskipun dunia mungkin terasa absurd, saya akan terus mencari dan mempertahankan martabat—bahkan jika hanya untuk diri saya sendiri.
***
Judul: Pena di Tengah Absurditas: Menjaga Martabat Diri
Penulis: Didin Kamayana Tulus
Editor: Asep (HC) Arie Barajati












