Asep News, Kolom OPINI, Rabu (16/07/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Pola Pikir Ketahanan Pangan” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Pola Pikir merupakan terjemahan dari mindset. Beberapa pengertian mindset menurut para ahli adalah suatu set atau rangkaian pemikiran yang membentuk kebiasaan berpikir dari individu. Selain itu, pengertian lain dari mindset adalah doa dan harapan yang dimiliki seseorang akan suatu hal yang ingin dicapai dalam hidup.
Di sisi lain, ada juga yang menyebutkan bahwa mindset adalah posisi atau pandangan mental seseorang yang mempengaruhi pendekatan orang tersebut dalam menghadapi suatu fenomena. Mindset terdiri dari seperangkat asumsi, metode atau catatan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok yang tertanam dengan sangat kuat.

Menurut Mulyadi (2007) mindset merupakan sikap mental mapan yang dibentuk melalui pendidikan, pengalaman, dan prasangka. Kemudian menurut James Artur Ray, mindset artinya kepercayaan kepercayaan (sekumpulan kepercayaan) yang mempengaruhi sikap seseorang, atau suatu cara berfikir yang menentukan prilaku pandangan, sikap, dan masa depan seseorang.
Ibrahim Elfiky di dalam beberapa buku motivasinya menyebitkan, “Mindset adalah sekumpulan pikiran yang terjadi berkali-kali di berbagai tempat dan waktu serta diperkuat dengan keyakinan dan proyeksi sehingga menjadi kenyataan yang dapat dipastikan di setiap tempat dan waktu yang sama.”
Sebagaimana ditegaskan dalam UU NO. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, di sana jelas terungkap bahwa yang namanya Ketahanan Pangan pada hakekatnya tidak terlepas kaitannya dengan pengertian Swasembada Pangan, Kemandirian Pangan, dan Kedaulatan Pangan.
Suatu bangsa akan memiliki Ketahanan Pangan yang kuat, sekiranya mereka mampu mewujudkan Swasembada Pangan. Ketahanan Pangan juga akan ditentukan oleh Kemandirian Pangan. Dengan bahasa lain, dapat dikatakan, bila kita mampu meraih Swasembada Pangan, lalu dapat menggapai Kemandirian Pangan maka hasrat untuk mencapai Kedaulatan Pangan, bukanlah sesuatu yang uthopis.
Perjalanan dan perkembangan pembangunan pangan di negeri ini terekam masih merisaukan. Dikala warga dunia sudah ramai bicara soal keamanan pangan, kita masih berkutat dengan swasembada pangan. Buktinya Pemerintahan masih menargetkan agar Indonesia mampu menggapai swasembada, padahal soal swasembada beras misalnya, sekitar 36 tahun lalu kita sudah mampu mewujudkannya.
Artinya, bila sekarang kita ingin meraihnya lagi, pertanyaan yang menarik untuk dikupas lebih dalam adalah bagaimana nasib swasembada beras kita selama 36 tahun tersebut ? Apakah swasembada ini hanya sebuah jargon politik guna membangun sebuah pencitraan atau memang swasembada beras tahun 1984 itu pun lebih banyak ditentukan oleh kepentingan politik pemerintah itu sendiri.
Hal yang tidak jauh berbeda, terjadi pula ketika pemerintah mengumandangkan kalimat “kedaulatan pangan”. Walau kedaulatan pangan lebih disemangati oleh kepentingan politik. Namun, bila kita selami kondisi yang tengah terjadi sekarang, ternyata apa yang dirasakan oleh masyarakat belumlah sampai pada istilah kedaulatan pangan. Seorang sahabat malah menyatakan, jangankan kedaulatan, yang namanya swasembada, ketahanan dan kemandirian pun, kita masih mencari pola pendekatan ideal guna mewujudkannya.
Lebih hangat lagi adalah ketika ada pandangan yang menegaskan bahwa madhab-madhab pembangunan pangan sebagaimana yang digambarkan diatas, perlu dirajut dengan apik dan cerdas. Termasuk di dalamnya hasrat untuk melahirkan kegiatan ketahanan pangan yang berbasis pada “paradigma harmonisasi” itu sendiri.
Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan. Ketahanan pangan merupakan ukuran kelentingan terhadap gangguan pada masa depan atau ketiadaan suplai pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan, gangguan perkapalan, kelangkaan bahan bakar, ketidakstabilan ekonomi, peperangan dan sebagainya.
Kini masalahnya sudah mulai tergambarkan. Muara dari Swasemvada, Kemandirian dan Ketahanan Pangan adalah terwujudnya Kedaulatan Pangan. Ini penting dicatat katena Kedaulatan pangan adalah seperangkat hak rakyat untuk menentukan kebijakan dan strategi mereka sendiri atas produksi, distribusi, dan konsumsi pangan yang berkelanjutan dan menjamin hak atas pangan.
Hanya perlu juga dikenali bahwa kedaulatan pangan bukan hanya sekedar seperangkat hak, tetapi suatu kondisi ketika masyarakat (petani) memiliki akses dan control terhadap sumber-sumber agrarian sehingga mereka mampu menentukan sendiri apa yang harus diproduksi, bagaimana cara memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi dengan cara dan mekanisme yang memang paling tepat bagi mereka.
Sebagai salah satu jawaban atas jeratan pangan global, pemahaman yang serius terhadap pola pikir kedaulatan pangan seperti yang digambarkan di atas memang menjadi sangat strategis dan urgent. Terlebih-lebih bila terekam adanya sebuah suasana dimana sekarang ini pangan diperjual-belikan demi menumpuk keuntungan sebesar-besarnya.
Pangan sudah tidak dipandang sebagai bagian dari kebutuhan untuk mengganjal perut dari kondisi lapar belaka. Pangan sudah tidak dipersepsikan sebagai komoditas kemanusiaan, di mana sekiranya ada warga dunia yang tertimpa bencana maka sebagai negara yang dinilai surplus pangan, kita pun rela untuk menyumbangkan sebagian kelebihan pangan tersebut.
***
Judul: Pola Pikir Ketahanan Pangan
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Asep (HC) Arie Barajati












