ASEP NEWS, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (11/10/2025) – Pagi itu, Sabtu (11/10/2025), udara di kawasan Balai Kota Bandung terasa lebih sejuk dari biasanya. Sinar matahari menembus lembut di sela-sela pepohonan Taman Dewi Sartika, tempat di mana puluhan anggota Himpunan Pandu dan Pramuka Wreda (HIPPRADA) Kota Bandung bersama Kwartir Daerah Jawa Barat menggelar kegiatan penanaman pohon.
Tak hanya sekadar menanam, kegiatan ini adalah bagian dari upaya panjang untuk menghidupkan kembali kecintaan pada alam dan kearifan lingkungan khas Sunda — sesuatu yang mulai pudar di tengah hiruk pikuk kota modern.
Beberapa minggu sebelumnya, HIPPRADA Kwarcab Kota Bandung dan Kwarda Jawa Barat baru saja menorehkan prestasi besar sebagai tuan rumah “The 17th International Scout and Guide Fellowship – Asia Pacific Region Gathering” (ISGF-ASPAC 2025). Kegiatan berskala internasional yang dihadiri peserta dari 18 negara itu membawa semangat persaudaraan lintas bangsa. Dan kini, semangat itu kembali diwujudkan dalam aksi nyata: menanam, merawat, dan menjaga bumi.

Hutan Mini di Tengah Kota
Di sisi barat taman, tampak para anggota HIPPRADA bersama para Pramuka muda bahu-membahu menanam bibit pohon. Beberapa di antaranya tampak begitu antusias: menggali tanah, menegakkan batang, menutup dengan tanah gembur, lalu menyiramnya dengan air yang mereka bawa dalam jeriken kecil.
Menurut Djuandi Ghandi, aktivis lingkungan dan penggiat botani khas Sunda, pola penanaman yang digunakan kali ini mengikuti pendekatan Miyawaki, yakni sistem penanaman rapat yang memanfaatkan lahan sempit di perkotaan untuk membentuk pocket forest — hutan mini yang bisa tumbuh mandiri dalam waktu relatif singkat.

“Pohon-pohon yang ditanam ini bukan sekadar penghijauan biasa,” ujar Djuandi, “Ini adalah upaya mengembalikan identitas flora Sunda agar tidak punah dan tetap hidup di tengah kota yang semakin padat.”
Beberapa jenis pohon yang ditanam memiliki nilai historis dan budaya tinggi, seperti Kapundung (Baccaurea racemosa), Hampelas (Ficus ampelas), Tarum Siki (Indigofera tinctoria), dan Tarum Areuy (Marsdenia tinctoria) — tanaman yang dahulu kerap muncul dalam cerita rakyat dan digunakan dalam berbagai praktik kehidupan masyarakat Sunda.
Warisan dari Jepang, Dijiwai Kearifan Sunda
Metode Miyawaki yang diterapkan di Bandung ini bukan hal baru di dunia. Diperkenalkan oleh Prof. Akira Miyawaki (1928–2021) dari Jepang, metode ini kini diadopsi di berbagai kota di dunia untuk mempercepat pemulihan ekosistem hutan tropis dan perkotaan.

Menurut Dr. Yooke Tjuparmah — yang akrab disapa Ambu Yooke, sastrawati dan salah satu pendiri Paguyuban Sastrawati Sunda (PATREM) — pendekatan ini sejalan dengan filosofi ngeuyeuk seureuh, yaitu semangat gotong royong dan keselarasan antara manusia dengan alam.
“Kalau di Jepang metode ini ilmiah, maka di Sunda, pendekatan ini bersumber dari rasa hormat pada alam. Kita diajarkan untuk ngamumule (merawat), bukan hanya memanfaatkan,” tutur Ambu Yooke dengan senyum yang meneduhkan.
Dalam pandangannya, kegiatan menanam pohon bukan hanya aksi ekologis, melainkan tindakan spiritual: menghubungkan manusia dengan akar sejarah dan lingkungannya. Ia percaya, setiap daun yang tumbuh adalah doa yang hidup.
Lintas Generasi, Lintas Jejak
Kegiatan ini juga dihadiri oleh sejumlah tokoh lintas bidang: Erwina Soewarma, mantan Wakil Ketua panitia ISGF-ASPAC; Taufik Hidayat, pengurus HIPPRADA Jawa Barat; Yayah Robiyah, mantan Kepala Sekolah dan pembimbing pramuka dari Sulawesi; serta Chye Retty Isnendes, Guru Besar Antropologi Sastra UPI sekaligus Ketua PATREM.
Selain itu, hadir pula Gelar Taufiq Kusumawardhana, Ketua Yayasan Buana Varman Semesta sekaligus koordinator Varman Institute – Pusat Kajian Sunda. Ia menegaskan bahwa kegiatan ini tak berhenti pada penanaman semata, tetapi juga mengandung nilai pendidikan dan kebudayaan.
“Setiap pohon yang tumbuh di sini akan menjadi laboratorium kecil bagi masyarakat kota,” ujar Gelar, “Anak-anak bisa belajar mengenal jenis tumbuhan lokal, memahami manfaatnya, bahkan menyadari bahwa di balik daun dan ranting ada nilai-nilai budaya yang hidup.”
Hijau yang Menyimpan Cerita
Mereka yang hadir hari itu bukan hanya menanam bibit pohon, tapi juga menanam harapan. Harapan agar Bandung tetap teduh. Agar masyarakatnya tidak tercerabut dari akar budaya dan ekologi Sunda.
Pendekatan pocket forest ala Miyawaki telah terbukti di berbagai negara mampu meningkatkan keanekaragaman hayati hingga 20 kali lipat lebih cepat dibandingkan penanaman konvensional (data The Guardian, 2023). Dan kini, Bandung menjadi salah satu kota di Indonesia yang mulai mengadopsinya secara kreatif, dikombinasikan dengan semangat lokalitas yang kuat.
“Bandung bukan hanya kota bunga,” kata Djuandi Ghandi menutup perbincangan, “Ia adalah kota akar—akar pengetahuan, akar budaya, dan akar pohon yang kita tanam bersama hari ini.”
Hijau Tak Hanya Warna, Tapi Janji
Di bawah rindangnya pepohonan yang baru ditanam, para peserta duduk sejenak melepas lelah. Beberapa remaja pramuka masih sempat berfoto sambil tersenyum, memegang cangkul dan sarung tangan yang masih kotor tanah.
Hari itu, Taman Dewi Sartika bukan sekadar taman kota. Ia berubah menjadi ruang harapan, tempat manusia dan alam kembali berjabat tangan.
Menanam Kapundung di jantung kota mungkin tampak sederhana. Tapi di balik itu tersimpan makna besar: sebuah pengingat bahwa masa depan yang hijau hanya mungkin tumbuh dari hati yang peduli — dan dari akar yang tidak lupa darimana ia berasal. (GTK).
***
Judul: Menanam Kapundung di Jantung Kota: Gerakan Hijau HIPPRADA Lestarikan Alam dan Budaya Sunda
Kontributor: Gelar Taufik Kusumawardhana
Editor: Chye Retty Isnendes












