Esai Kritik Tulisan Agung Ilham Setiadi tentang Ajip Rosidi

Artikel ini ditulis oleh: Didin Kamayana Tulus

Ajip Rosidi
Ajip Rosidi, Sastrawan Indonesia - (Sumber: Binis.com)

ASEP NEWS Kolom OPINI, Jumat (11/10/2024) – Artikel berjudul “Esai Kritik Tulisan Agung Ilham Setiadi tentang Ajip Rosidi” ini adalah sebuah esai karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Dalam tulisan yang disusun oleh Agung Ilham Setiadi (AIS) dan dimuat di media online MajmusSunda News pada 8 Oktober 2024 dengan judul  Ajip Rosidi: Geugeut jeung Cinta ka Sarakan Lemah Cai Ditamperkeun dina Sajakna “Tanah Sunda”, penulis berusaha menggali sosok Ajip Rosidi sebagai salah satu sastrawan besar Sunda, meskipun terdapat beberapa poin penting yang diangkat, saya merasa informasi yang disajikan kurang lengkap untuk menggambarkan ketokohan Ajip Rosidi, baik di dalam kancah kesusastraan maupun dalam karya-karyanya.

Esai ini akan mencoba mengulas kekuatan dan kelemahan dari tulisan tersebut, serta memberikan pandangan yang lebih luas mengenai kontribusi Ajip Rosidi dalam dunia sastra.

Didin Kamayana Tulus
Didin Kamayana Tulus, penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Pertama-tama, penting untuk menyoroti bahwa Ajip Rosidi merupakan sosok yang telah mengukir namanya tidak hanya di kalangan masyarakat Sunda, tetapi juga di seluruh Nusantara. Bahkan, hingga mancanegara. Hal ini menunjukkan bahwa karya-karya beliau memiliki daya tarik universal yang layak untuk dibahas lebih mendalam.

Namun, dalam tulisan AIS, penjelasan mengenai pengaruh dan jangkauan karya Ajip terasa minim. Penulis seharusnya dapat menggali lebih dalam mengenai bagaimana karya-karya Ajip diterima di luar Tatar Sunda dan mengapa puisi-puisi beliau mampu menjangkau hati pembaca dari berbagai latar belakang.

Salah satu kontribusi signifikan yang disebutkan oleh AIS adalah buku “Puisi Sunda Dua Bahasa”. Buku ini memang merupakan terobosan yang luar biasa dalam memperkenalkan sastra Sunda kepada khalayak luas dengan menyajikan puisi-puisi dalam bahasa asli serta terjemahannya. Namun, penulis tidak cukup menekankan pentingnya buku tersebut dalam konteks pelestarian dan pengembangan sastra Sunda.

Penjelasan mengenai proses penyusunan, tantangan yang dihadapi, dan dampak yang ditimbulkan buku ini terhadap penulis muda Sunda akan memberikan gambaran yang lebih utuh mengenai dedikasi Ajip Rosidi kepada sastra.

Selanjutnya, tulisan tersebut menyebutkan bahwa pemuda dan pemudi Sunda kini sudah mengenal karya sastra puisi dan menyebutkan bahwa Ajip Rosidi menghidupkan genre tersebut. Namun, pernyataan ini terasa terlalu umum dan tidak memadai. AIS seharusnya memberikan contoh konkret tentang bagaimana karya-karya Ajip, seperti puisi “Tanah Sunda,” berperan dalam membangkitkan minat terhadap puisi di kalangan generasi muda. Menyertakan analisis mengenai tema, teknik, dan pesan yang terkandung dalam puisi tersebut akan memberikan bobot lebih pada argumen yang disampaikan.

Puisi “Tanah Sunda” yang dikutip dalam artikel ini merupakan salah satu karya Ajip Rosidi yang terkenal, terutama di kalangan pendidikan. Namun, penulis tidak menjelaskan secara mendalam mengenai makna dan signifikansi puisi tersebut.

Pembaca mungkin penasaran tentang apa yang ingin disampaikan Ajip melalui puisi ini dan bagaimana puisi ini merefleksikan kondisi sosial, budaya, dan lingkungan Tanah Sunda. Penjelasan yang lebih rinci akan sangat membantu untuk memahami keterkaitan antara puisi dan identitas Sunda yang lebih luas.

Di samping itu, meskipun puisi Ajip sering dipentaskan di berbagai tingkat pendidikan, AIS tidak menyinggung mengenai bagaimana pementasan tersebut dapat berkontribusi pada pemahaman dan apresiasi sastra di kalangan siswa. Diskusi tentang peran pendidikan dalam memperkenalkan karya-karya sastrawan Sunda sekaligus menjelaskan strategi yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan puisi-puisi tersebut dapat memperkaya tulisan ini.

Secara keseluruhan, tulisan AIS memberikan pengantar yang baik mengenai Ajip Rosidi, tetapi masih banyak aspek yang perlu dieksplorasi untuk membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang ketokohan dan kontribusi beliau dalam dunia sastra. Dengan menggali lebih dalam mengenai karya-karya, dan pengaruh, serta relevansi karya Ajip Rosidi dalam konteks sastra dan pendidikan, penulis dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif.

Sebagai penutup, penting untuk menghargai usaha Agung Ilham Setiadi (AIS) dalam menyoroti sosok Ajip Rosidi. Namun, saya berharap ke depannya, pembahasan mengenai tokoh-tokoh sastra seperti Ajip dapat dilakukan dengan lebih mendalam dan komprehensif sehingga pembaca tidak hanya mendapatkan informasi, tetapi juga pemahaman yang lebih kaya tentang kekayaan sastra yang dimiliki oleh bangsa kita. Dengan demikian, kita semua dapat lebih menghargai dan melestarikan warisan budaya yang telah ditinggalkan oleh para sastrawan besar seperti Ajip Rosidi. (Didin Tulus/BJN)

***

Judul: Esai Kritik Tulisan Agung Ilham Setiadi tentang Ajip Rosidi
Penulis: Didin Kamayana Tulus
Editor: JHK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *