Kegelisahan: Energi untuk Berkarya dan Berpikir Kritis

Artikel ini ditulis oleh: Didin Kamayana Tulus

pria duduk di taman
Ilustrasi: Seorang laki-laki paruh baya sedang duduk di kursi trotoar dengan gelisah memikirkan sesuatu yang bergejolak dalam batinnya - (Sumber: Bing Image Creator AI)

ASEP NEWS Kolom OPINI, Sabtu (19/10/2024) – Artikel berjudul “Kegelisahan: Energi untuk Berkarya dan Berpikir Kritis” ini adalah sebuah esai karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Setiap orang pasti memiliki kegelisahan dalam hidupnya, sebuah perasaan yang muncul ketika realitas tidak berjalan sesuai harapan atau prinsip yang dipegang teguh. Orang yang masih memiliki kegelisahan adalah mereka yang masih peka terhadap keadaan di sekelilingnya. Mereka yang masih “normal” karena mampu merasakan ketidakseimbangan, ketidakadilan, atau ketidaknyamanan yang melingkupi kehidupan sehari-hari.

Kegelisahan ini bisa menjadi bahan bakar untuk bergerak, berpikir kritis, dan, bagi sebagian orang, mengaplikasikan kegelisahan tersebut dalam karya seni, sastra, atau bentuk ekspresi lainnya. Bagi banyak seniman dan intelektual, kegelisahan ini bukan hanya menjadi momok, tapi juga alat untuk memahami dan merespons dunia yang kompleks.

Didin Kamayana Tulus
Didin Kamayana Tulus, penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Sebagai contoh, W.S. Rendra, penyair besar Indonesia, selalu merasakan kegelisahan terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Kegelisahannya tersebut ia salurkan melalui puisi-puisinya yang tajam dan penuh kritik sosial.

Demikian pula Ajip Rosidi, sastrawan dan budayawan yang produktif, sering menulis esai-esai tajam yang memotret kebobrokan budaya dan pemerintahannya. Bagi mereka, kegelisahan adalah energi kreatif, sebuah dorongan untuk menciptakan sesuatu yang dapat merubah persepsi atau setidaknya menggugah kesadaran publik.

Saya, seperti halnya mereka, juga termasuk orang yang cepat gelisah, bukan karena hal-hal remeh seperti masalah uang, tetapi lebih kepada kegelisahan melihat ketimpangan sosial budaya yang ada di sekitar kita.

Kegelisahan yang saya alami sering kali muncul ketika melihat bagaimana kebudayaan kita semakin tergerus oleh budaya konsumtif, bagaimana para pejabat yang seharusnya menjadi contoh moral justru tenggelam dalam praktik-praktik korupsi, dan bagaimana ketimpangan sosial semakin nyata di depan mata.

Kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar, sementara budaya kritis di masyarakat kian menipis. Budaya konsumtif yang merajalela membuat banyak orang lebih peduli pada pencitraan daripada substansi, lebih memilih kemewahan yang dangkal daripada kedalaman makna. Ini membuat saya semakin gelisah, semakin ingin menulis dan mengungkapkan apa yang saya lihat dan rasakan.

Dalam situasi seperti ini, menulis menjadi semacam terapi. Melalui tulisan, saya dapat memproses kegelisahan itu, menggali lebih dalam tentang penyebab-penyebabnya, dan kemudian menuangkannya dalam bentuk esai.

Menulis juga menjadi cara bagi saya untuk berbicara kepada dunia, menyampaikan keresahan saya kepada mereka yang mungkin merasakan hal yang sama, tetapi belum menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkannya. Di sinilah peran penting kegelisahan bagi penulis atau seniman. Kegelisahan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan harus dihadapi dan diolah menjadi sesuatu yang konstruktif.

Namun, tidak semua orang merespons kegelisahan dengan cara yang sama. Ada yang menyalurkannya melalui seni rupa, ada yang melalui teater, dan ada yang melalui musik. Saya yakin bahwa setiap bentuk seni adalah hasil dari kegelisahan yang mendalam.

Para pelukis, misalnya, seringkali merasa gelisah dengan realitas yang mereka lihat, lalu mencoba menggambarkannya dalam bentuk visual yang penuh makna. Begitu juga dengan para aktor dan sutradara teater, yang seringkali menggunakan medium tersebut untuk menggambarkan pergulatan batin atau ketidakadilan sosial yang mereka rasakan. Semua itu adalah bentuk ekspresi dari kegelisahan manusia.

Kegelisahan, pada akhirnya, adalah salah satu ciri bahwa kita masih hidup dan peka terhadap dunia di sekitar kita. Manusia yang sudah tidak merasakan kegelisahan mungkin sudah mati rasa terhadap segala bentuk ketidakadilan, atau bahkan sudah mati secara emosional.

Kegelisahan adalah salah satu indikator bahwa kita masih memiliki empati, masih peduli pada nasib orang lain, dan masih memiliki harapan untuk perubahan yang lebih baik. Itulah sebabnya, saya percaya bahwa kegelisahan tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang negatif, melainkan harus dilihat sebagai kekuatan yang mendorong kita untuk berpikir kritis dan berbuat lebih baik.

Namun, di tengah-tengah kegelisahan itu, kita juga perlu hati-hati. Kegelisahan yang dibiarkan tanpa arah bisa menjadi racun yang memakan diri kita sendiri. Ia bisa menjelma menjadi kecemasan berlebihan, ketakutan tanpa dasar, atau bahkan keputusasaan. Oleh karena itu, penting untuk menemukan saluran yang tepat bagi kegelisahan tersebut, baik itu melalui seni, tulisan, diskusi, atau aktivitas sosial. Yang terpenting adalah kita tidak membiarkan kegelisahan itu merusak diri kita, melainkan menggunakannya sebagai kekuatan untuk mendorong perubahan, baik di dalam diri kita sendiri maupun di masyarakat.

Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh seorang filsuf, “Kegelisahan manusia akan segera berakhir apabila napasnya berhenti.” Ini adalah pengingat bahwa selama kita masih hidup, kegelisahan akan selalu ada. Namun, selama kita bisa mengolahnya dengan baik, kegelisahan tersebut bisa menjadi sumber inspirasi dan energi yang tak ternilai.

Melalui kegelisahan, kita belajar untuk memahami dunia dengan lebih baik, menemukan makna dalam kehidupan yang penuh dengan ketidaksempurnaan, dan berusaha untuk membuatnya lebih baik sesuai dengan kapasitas kita.

Kegelisahan adalah tanda bahwa kita masih peduli, masih berjuang, dan masih ingin melihat dunia menjadi tempat yang lebih adil dan bermakna. Jadi, selama kita masih bernapas, mari gunakan kegelisahan kita dengan bijak.

***

Judul: Kegelisahan: Energi untuk Berkarya dan Berpikir Kritis
Penulis: Didin Kamayana Tulus
Editor: JHK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *