ASEP NEWS, Kolom OPINI, Minggu (20/07/2025) – Artikel berjudul “Pagi di Pelabuhan Ratu: Tafakur di Tepian Samudera” ini merupakan tulisan Mayjen TNI (Purn.) Asep Kuswani, S.H., M.Si.Han., Anggota Dewan Pini Sepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS), Ketua Dewan Pembina (KDP) Paguyuban Asep Dunia (PAD), Dewan Pembina Asosiasi Media Independen Online (MIO) Indonesia, dan founder (pendiri) Asep News (AsepNews.id).
Pagi baru saja menyapa langit Pelabuhan Ratu. Di bawah langit yang bergradasi jingga lembut, saya melangkah perlahan di atas hamparan pasir yang bersih dan masih basah oleh embun malam.

Deburan ombak menjadi irama alam yang memandu langkahku. Tak ada hiruk-pikuk kota, tak ada klakson atau keramaian pasar. Hanya suara alam dan bisikan hati yang lirih. Saya berhenti sejenak, menatap jauh ke selatan. Laut Kidul—yang dalam dongeng-dongeng leluhur kami disebut sebagai samudera para ratu—terhampar luas, membentang megah ke arah cakrawala.
Di sinilah saya merasakan kedamaian yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Angin yang datang dari laut membawa aroma asin yang khas, menyentuh wajahku dengan lembut. Ombak-ombak itu seolah menari dalam irama agung, menyanyi dengan gemuruh yang tenang. Suara mereka bagai zikir alam, mengingatkan bahwa segala yang hidup di bumi ini tunduk pada Sang Pencipta.
Saat yang paling indah di Pantai Pelabuhan Ratu adalah ketika sang matahari perlahan-lahan muncul dari balik cakrawala. Cahaya lembutnya membias di permukaan air, menciptakan lukisan alam yang tak bisa dilukis oleh tangan manusia mana pun.
Warna keemasan sang matahari memeluk laut dan langit dalam pelukan mesra. Di detik-detik seperti ini, saya memilih untuk duduk dan bertafakur—merenungi jalan hidup yang sudah saya lalui, menghitung syukur atas nikmat yang kerap luput dari pandangan sehari-hari.
Pantai ini bukan hanya tentang pasir dan ombak. Ia adalah altar sunyi bagi jiwa-jiwa yang ingin mencari ketenangan. Pelabuhan Ratu adalah rumah bagi cerita-cerita mistis, legenda Ratu Pantai Selatan, dan ziarah spiritual bagi mereka yang ingin menyatu dengan alam. Namun, di balik segala kisah itu, pantai ini juga tempat di mana manusia kembali pada dirinya sendiri—jujur dalam sunyi, lapang dalam hati.
Di kejauhan, perahu-perahu nelayan mulai bergerak. Wajah-wajah penuh harap tampak dari kejauhan. Mereka adalah penjaga laut, penakluk ombak, dan perawi kehidupan yang tak pernah menyerah. Melihat mereka, saya seperti diingatkan bahwa kehidupan adalah tentang keberanian untuk terus melaju, meski kadang arah angin tak sejalan dengan layar.

Pelabuhan Ratu menawarkan keindahan alam yang luar biasa. Pasirnya putih kecokelatan, lembut namun tegas. Airnya biru jernih, memantulkan langit dan awan seperti cermin alam.
Tebing-tebing karang yang menjulang kokoh di kejauhan, seperti penjaga abadi yang menyimpan rahasia zaman. Di pagi hari, keindahan ini terasa lebih magis. Cahaya mentari yang hangat menyusup pelan ke sela-sela dedaunan kelapa dan nyiur yang melambai, menambah kesyahduan suasana.
Banyak yang datang ke sini hanya untuk berswafoto atau sekadar berlibur. Namun, jika kau cukup sabar dan membuka hatimu maka pantai ini akan bicara padamu. Ia akan menjadi tempat pengakuan, tempat kau melepas semua beban, dan pulang dengan dada yang lebih lapang.
Pagi itu, di Pelabuhan Ratu, saya merasa dilahirkan kembali—bukan sebagai manusia yang sempurna, tapi sebagai jiwa yang lebih siap menjalani hidup dengan kesadaran bahwa kedamaian sejati tidak datang dari luar, tapi dari dalam hati yang mampu berdamai dengan takdir.
Tafakur di Pelabuhan Ratu: Di Antara Ombak dan Doa
Bertafakur di pagi hari di Pantai Pelabuhan Ratu adalah sebuah anugerah yang tak ternilai. Saat langit mulai terang, dan deburan ombak menjadi lagu pembuka hari, saya duduk di atas pasir yang masih dingin oleh sisa malam.
Laut membentang luas di hadapan, seolah menjadi cermin besar tempat saya melihat bayangan diri yang selama ini terabaikan. Di titik ini, saya tak sekadar menjadi pengamat alam, tapi juga peziarah batin.
Pandangan saya lekat pada garis cakrawala. Perlahan, pikiran melayang, membuka lembar-lembar perjalanan hidup yang tak selalu indah, tetapi penuh makna.
Saya merenung tentang segala yang pernah saya perjuangkan, tentang luka yang pernah datang tanpa permisi, dan tentang impian-impian yang masih setia menunggu untuk diwujudkan.
Pantai ini menjadi semacam altar pribadi, tempat saya berdialog dengan diri sendiri, tanpa penghakiman, tanpa topeng.
Setiap desir angin seperti membawa pesan dari langit. Setiap gulungan ombak terasa menghapus satu demi satu kegelisahan yang selama ini menggerogoti dada.
Dalam hening itu, saya merasa didekap oleh ketenangan yang tak saya temukan di tempat lain. Ada sesuatu yang sangat spiritual dalam kesunyian pagi di Pelabuhan Ratu. Ia bukan sekadar pemandangan indah untuk dilihat, melainkan juga ruang sunyi untuk menyelam ke dalam diri dan mendengarkan suara jiwa yang kerap terlupakan.
Saya sadar, dunia ini begitu riuh. Kita berlomba, kita berteriak, kita terus berjalan tanpa henti. Namun, pagi itu, di sini, saya memilih berhenti. Bukan karena lelah, tapi karena ingin menyapa diri sendiri—yang selama ini terpinggirkan oleh rutinitas.
Saya menunduk, meresapi detak jantung yang berdentang perlahan, dan mengucap syukur atas napas yang masih berhembus.
Di Pelabuhan Ratu, tafakur tak hanya milik mereka yang sedang bersedih atau mencari jalan keluar. Ia juga milik mereka yang ingin kembali menemukan arah, merapikan hati, dan menyegarkan jiwa. Karena terkadang, kita hanya butuh duduk sejenak di tepi laut, membiarkan suara alam berbicara, dan membuka ruang di dada untuk cahaya baru masuk.
Pantai ini, dengan segala keindahannya, mengajarkan saya bahwa tidak semua yang hebat harus hingar-bingar. Bahwa ketenangan bukanlah kekosongan, tapi justru kelimpahan yang tak terlihat mata. Bahwa dalam diam, sering kali kita lebih jujur, lebih utuh, lebih manusiawi.
Ketika matahari semakin tinggi dan sinarnya mulai menyentuh seluruh tubuh saya, saya bangkit dengan hati yang lebih ringan. Seakan semua luka dan resah ditinggalkan di pasir, dibawa pergi oleh ombak, dan digantikan dengan harapan baru.
Saya tersenyum, menatap langit biru, dan berkata dalam hati: Terima kasih, laut. Terima kasih, Tuhan. Saya siap berjalan lagi.
Subhanallah alhamdulillah Lailahailallahu Allohu Akbar.
***
Judul: Pagi di Pelabuhan Ratu: Tafakur di Tepian Samudera
Penulis: Mayjen TNI (Purn.) Asep Kuswani, S.H., M.Si.Han.
Editor: Asep (HC) Arie Barajati