Fenomena Nama Asep: Antara Budaya, Bahasa, dan Tren Anak Muda Sunda

Artikel ini ditulis oleh: Asep (HC) Arie Barajati

Orang Sunda
Ilustrasi: Seorang pemuda desa di Jawa Barat sedang mengasuh hewan ternak - (Sumber: JHK)

ASEP NEWS, Rubrik OPINI, Kamis (25/09/2025) ─ Artikel berjudul “Fenomena Nama Asep: Antara Budaya, Bahasa, dan Tren Anak Muda Sunda” ini ditulis oleh Asep (HC) Arie Barajati, seorang pengamat sosial dan budaya yang tinggal di Kabupaten Bandung Barat.

Di jalan-jalan kampung di tatar Sunda, nama Asep terdengar seperti nada yang akrab: dipanggil dari beranda, tercatat di KTP, atau hanya bisik-bisik ketika orang bertanya, “Saha ngaran maneh?” Lagi-lagi jawabannya, “Asep.”

Mengapa banyak orang Sunda memakai nama “Asep”? Jawabannya tersusun dari lapis-lapis bahasa, harapan budaya, dan sejarah sosial yang sederhana, tetapi sarat makna.

Secara etimologi, Asep berakar dari kata Sunda “kasep” yang berarti “tampan” atau “elok.” Bentuknya lalu menyusut menjadi Asep atau varian lain seperti Encep, Cecep, atau Aép—bentuk-bentuk nama yang lazim di masyarakat Sunda.

Orang Sunda
Ilustrasi: Pemuda bernama Asep yang kerja sebagai petani di desa – (Sumber: JHK)

Pengertian awal ini menunjukkan bahwa nama bukan sekadar label, tetapi doa dan harapan: orang tua memberi nama agar si anak tumbuh elok, menarik, atau terhormat. Penjelasan ini juga tercantum dalam catatan kebahasaan dan liputan budaya tentang nama khas Sunda.

Kalau kita pandang dari sudut tata suara (fonologi) bahasa Sunda, nama-nama lokal cenderung mengikuti pola suku kata terbuka dan bunyi yang lembut — dua suku kata seperti A-sep sangat “nyaman” di lidah Sunda. Kajian linguistik tentang pola penamaan di daerah Sunda menegaskan kecenderungan struktur nama yang simpel, berulang, dan mudah diucapkan, sehingga nama seperti “Asep” mudah diterima secara sosial dan berulang generasi demi generasi. Pola seperti ini membantu menjelaskan mengapa nama yang sederhana dan beresonansi budaya bertahan lama.

Nama juga adalah cermin kelas sosial dan modernitas. Sejarah sosial menunjukkan bahwa kebiasaan memberi nama berevolusi: pada awal abad ke-20 dan menjelang modernitas, nama-nama Sunda tradisional—termasuk Asep—menguat sebagai identitas etnik yang menandai asal-usul dan status kebudayaan.

Dalam catatan sejarah lokal, munculnya “Asep” sebagai nama yang meluas tampak berkaitan dengan kebangkitan kesadaran identitas Sunda dan pola penamaan yang dipengaruhi oleh praktik keluarga menengah di wilayah Jawa Barat. Dengan kata lain, Asep bukan hanya soal “tampan” — ia juga menjadi tanda pengenal kultural.

Dari sisi budaya, penamaan di masyarakat Sunda tak lepas dari hubungan kekeluargaan dan kebiasaan panggilan. Dalam keseharian, orang Sunda kerap memakai panggilan akrab—seperti “Asep” untuk anak laki-laki sendiri, sedangkan untuk anak orang lain lazim dipakai “Ujang.”

Kebiasaan panggilan tersebut memperkuat sirkulasi nama: panggilan yang akrab mudah melahirkan adopsi menjadi nama resmi. Liputan budaya dan wawancara etnografi menyingkapkan bahwa faktor kebiasaan, strata sosial, dan rasa “nyaman” melisiskan nama “Asep” terus berulang.

Tentu nama juga berubah menyesuaikan zaman. Pada era sekarang, nama-nama tradisional seperti “Asep” mulai jarang dipakai oleh generasi muda yang mencari nama “unik” atau terpengaruh tokoh populer, agama, dan globalisasi. Namun, warisan nama tetap kuat—mungkin kita tidak lagi memasang banyak “Asep” pada bayi baru lahir, tetapi barisan laki-laki bernama Asep di generasi sebelumnya tetap ada sebagai jejak budaya. Fenomena ini terlihat di banyak daerah: generasi tua menyimpan nama tradisi, sedangkan generasi baru bereksperimen dengan nama baru.

Pada ranah sastra dan kultural, kata “Asep” juga memancing imajinasi —nama yang ringkas, penuh kepastian, dan hangat. Dalam percakapan bisa terdengar seperti syair sederhana: “Asep ngariung di warung kopi, carita ngalanglang kacapi”—nama menjadi tokoh, bukan sekadar identitas.

Kita bisa menaruh pribahasa yang relevan: “Nami teu nyingsat, kahadean moal leungit” (nama tak hilang, kebaikan tak lenyap) — maksudnya, meskipun zaman berganti, jejak nama dan kebaikan seseorang tetap dikenang, seperti pepatah Indonesia menyatakan, “Tak kenal maka tak sayang” — nama yang familiar membangun kedekatan sosial.

Apa pelajaran yang bisa ditarik? Pertama, nama seperti Asep bukanlah kebetulan fonetik semata—melainkan hasil persinggungan bahasa, doa budaya, dan sejarah sosial. Kedua, penamaan adalah praktik budaya yang hidup: ia dapat menguatkan identitas, menandai kelas, dan menyimpan nilai estetika. Dan terakhir, walau tren berganti, nama-nama tradisional tak langsung hilang — mereka bertransformasi menjadi warisan yang mengikat komunitas.

Sebuah ungkapan Sunda menyatakan: “Ngaran téh ibarat toya, mun beresih bakal ngecér, mun kotor moal karasa.” (Nama itu seperti air: bila bersih akan bening, bila kotor tak sedap.) Nama Asep, dengan segala lapis maknanya—kasep, panggilan hangat, identitas budaya—adalah sebutir air bening di gelas tradisi Sunda: menyejukkan, menandai, dan terus mengalir dalam arus kehidupan masyarakat. (Asep (HC) Arie Barajati)

***

Judul: Fenomena Nama Asep: Antara Budaya, Bahasa, dan Tren Anak Muda Sunda
Jurnalis: Asep (HC) Arie Barajati
Editor: Jumari Haryadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *