Ketika Suara Menjadi Doa: Jejak Abadi Acil Bimbo

Artikel ini ditulis oleh: Asep (HC) Arie Barajati

Acil Bimbo
Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah atau Acil Bimbo - (Sumber: Arie/Asep News)

ASEP NEWS, Rubrik OPINI, Jumat (26/09/2025) ─ Artikel berjudul “Ketika Suara Menjadi Doa: Jejak Abadi Acil Bimbo” ini ditulis oleh Asep (HC) Arie Barajati, seorang pengamat sosial dan budaya yang tinggal di Kabupaten Bandung Barat.

Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah atau Acil Bimbo (20 Agustus 1943 – 1 September 2025) kini telah tiada. Ia telah berpulang ke khadirat-Nya untuk selamanya, meninggalkan duka yang dalam bagi dunia musik Indonesia. Nama aslinya, mungkin tak setenar panggilan yang melekat di hatinya sebagai “Acil Bimbo”.

Musisi asal Kota Kembang, Bandung ini merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari grup legendaris Bimbo ─ sebuah grup musik yang lahir dari Bandung dan menjadi ikon dengan warna suara unik, lirik-lirik puitis, dan sentuhan musik yang nyaris abadi. Bersama saudara-saudaranya, Sam, Jaka, dan adik perempuannya Iin, mereka membentuk harmoni yang khas: lembut, dalam, penuh renungan.

Acil Bimbo
Acil Bimbo atau Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah saat dirawat di RS Advent Bandung – (Sumber trenzindonesia.com)

Bimbo bukan sekadar grup musik, melainkan sebuah perjalanan spiritual, sosial, dan budaya. Lagu-lagu mereka meresap ke dalam jiwa pendengar, seakan menghadirkan cermin bagi keresahan dan harapan zaman. Ketika musik pop Indonesia masih mencari jati diri, Bimbo menghadirkan warna berbeda—paduan suara harmoni yang elegan, syair yang menggugah, dan aransemen yang kaya nuansa.

Acil, dengan suaranya yang jernih dan khas, menjadi salah satu pilar yang membuat Bimbo terasa istimewa. Bersamanya, lahirlah karya-karya yang hingga kini masih diputar dan dinyanyikan banyak orang: “Tuhan”, “Sajadah Panjang”, “Bermata Tapi Tidak Melihat”, “Rindu Rasul”, “Ada Anak Bertanya pada Bapaknya”, hingga lagu-lagu sosial seperti “Balada Seorang Biduan” dan “Cahaya Bulan Purnama.” Lagu-lagu itu bukan sekadar hiburan, melainkan wejangan yang dibalut dengan melodi indah.

Suasana di pemakaman almarhum Acil Bimbo di TPU Cipageran, Cimahi Utara, Kota Cimahi - (Sumber: Arie)
Suasana di pemakaman almarhum Acil Bimbo di TPU Cipageran, Cimahi Utara, Kota Cimahi – (Sumber: Arie)

Bayangkan bagaimana lagu “Tuhan” menohok kesadaran banyak orang pada era 70-an, ketika kehidupan modern mulai menyeret manusia pada hiruk-pikuk materialisme. Syairnya sederhana, tetapi tajam—sebuah renungan tentang manusia yang punya mata, tetapi tak mampu melihat, punya telinga, tetapi tak mampu mendengar. Seakan Bimbo, lewat suara Acil dan saudara-saudaranya, sedang menegur peradaban yang semakin lupa arah.

Acil juga dikenal dengan kelembutan ekspresinya di panggung. Tidak flamboyan, tidak berlebihan, justru dari kesederhanaan itulah ia memancarkan kharisma. Setiap kali bernyanyi, seolah ia sedang berdialog dengan hati para pendengarnya.

Musisi Trio Bimbo, Sam (tengah), Acil (kiri), dan Jaka (kanan) berpose saat menghadiri Malam Anugerah Musik Indonesia (AMI) 2019 di Jakarta – (Sumber: ANTARA/APRILLIO AKBAR)

Dalam salah satu lagu religi mereka, ada syair yang menyentuh tentang manusia yang menghamparkan sajadah panjang sepanjang perjalanan hidupnya. Syair itu terasa begitu dekat dengan kenyataan, mengingatkan kita bahwa hidup tak lebih dari sebuah perjalanan singkat menuju perjumpaan abadi.

Kini Acil benar-benar pulang, menutup perjalanannya di dunia fana. Rasanya kita sedang menyaksikan sajadah panjang itu terlipat dengan tenang. Kehilangan ini bukan hanya milik keluarga dan sahabat dekatnya, melainkan juga jutaan penggemar yang tumbuh bersama karya-karyanya. Lagu-lagu Bimbo menemani banyak orang dalam sepi, dalam doa, dalam pencarian makna hidup, bahkan dalam perlawanan terhadap ketidakadilan sosial.

Bimbo memang fenomenal. Jarang ada grup musik yang bisa bertahan lintas generasi dengan tetap dihormati. Dari masa Orde Baru hingga reformasi, dari kaset pita hingga platform digital, suara mereka tidak pernah benar-benar hilang.

Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah atau Acil Bimbo (20 Agustus 1943 – 1 September 2025)
Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah atau Acil Bimbo (20 Agustus 1943 – 1 September 2025) – (Sumber: Arie)

Lagu “Sajadah Panjang” misalnya, masih kerap diputar setiap Ramadan, menjadi pengingat sunyi bahwa hidup manusia hanyalah untaian doa, sujud, dan pengharapan. Lagu “Rindu Rasul” masih dinyanyikan di pengajian dan acara-acara religi, menyatukan kerinduan umat kepada teladan agung. Lagu “Ada Anak Bertanya pada Bapaknya” masih relevan di telinga anak-anak sekolah yang mencari makna iman dengan kepolosan.

Bimbo adalah warisan, dan Acil salah satu penopangnya. Ia mewariskan suara, bukan sekadar rekaman yang bisa diputar ulang, tetapi gema yang melekat dalam jiwa pendengar. Pada era digital yang serba cepat dan instan, karya-karya itu justru semakin terasa bernilai. Ia mengajarkan kesederhanaan, perenungan, dan ketulusan.

Ada sebuah pepatah Sunda yang berbunyi: “Hirup mah saukur mampir ngombe”—hidup hanyalah singgah sejenak untuk minum. Acil sudah menuntaskan perjalanannya. Namun, warisan karyanya akan terus menjadi air jernih yang menghapus dahaga jiwa para penikmat musik. Lagu-lagu itu akan tetap diputar, dinyanyikan, dan direnungkan. Ia mungkin sudah tiada, tetapi suaranya tetap hidup di udara, di hati, dan di doa.

Kematian memang selalu menyisakan duka. Namun, di balik duka itu, ada syukur yang besar karena Indonesia pernah memiliki seorang Acil Bimbo. Bersama saudaranya, ia menorehkan sejarah yang tak lekang oleh waktu. Ia meninggalkan jejak bukan hanya di dunia musik, melainkan juga dalam spiritualitas bangsa.

Saat kita mendengar kembali suara Bimbo di radio, televisi, atau platform digital, mungkin kita akan teringat pada sosok sederhana yang duduk di tengah harmoni, menyanyikan syair yang menggetarkan jiwa. Sebuah bisikan halus mungkin muncul di sanubari kita: selamat jalan, Acil. Sajadah panjangmu telah sampai pada ujungnya, tetapi doa dan lagumu akan terus mengalun, menembus batas ruang dan waktu.

***

Judul: Ketika Suara Menjadi Doa: Jejak Abadi Acil Bimbo
Jurnalis: Asep (HC) Arie Barajati
Editor: Jumari Haryadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *